RESPECT
Ilsa. Seorang gadis belia mungil yang
cantik berusia 16 tahun yang sedang meninggalkan kampung halamannya untuk
menimba ilmu agama di salah satu pondok pesantren yang cukup tua dan tersohor di
Jawa yang berlokasi di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Bagaimana tidak
terkenal, untuk bisa memasuki pesantren
tersebut seperti dia saat ini seluruh calon santri diwajibkan mengikuti
beberapa tes untuk seleksi masuk. Kepribadian yang super mengagumkan dan
menyenangkan membuat para guru dan teman-temannya sangat menyukainya.
Pada suatu malam, di pondok putri,
dia sedang memanjakan dirinya di dalam kamar sendirian untuk menjalani
aktivitas mingguannya, me time. Dia selalu menjadwalkan seminggu sekali
untuk mencari kamar kosong setiap kali ada temannya yang meninggalkan kamar
atau pulang kampung, karena memang para santri yang rumahnya berdekatan dengan
pondok diperbolehkan pulang kampung dua minggu sekali untuk mengunjungi orang
tuanya atau kerabatnya. Sementara bagi mereka yang rumahnya jauh dari pondok,
hanya diperbolehkan berkomunikasi dengan orang tua mereka via whatsapp. Dia
hanya memiliki satu roommate. Kebetulan teman sekamarnya pulang kampung
kurang lebih selama tiga hari untuk mengikuti acara dalam rangka mengenang 1000
hari kakak kandungnya yang telah kembali
ke haribaan ilahi beberapa tahun yang lalu, sehingga dia bisa memanfaatkan
kamarnya untuk menyendiri. Di
kamar tersebut biasanya dia belajar seputar pelajaran sekolah umum dan hafalan
pelajaran diniyah yang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi para
santri. Namun tidak untuk saat ini, dia hanya ingin menghabiskan waktunya untuk
menulis impian-impiannya dalam sebuah
buku diary dan saling bertukar kabar kepada orang tuanya melalui telefon. Dia
memang suka menyendiri di ruangan yang tenang supaya dapat berkonsentrasi dengan
maksimal dan bebas berimajinasi. Setelah berkomunikasi dengan kedua orang
tuanya via video call, dia melanjutkan menulis beberapa rencana dalam
bukunya. Beberapa mimpi dia yaitu ingin membahagiakan orang tuanya dan
orang-orang terdekatnya dengan melanjutkan study di Universitas ternama di Indonesia hingga impian
untuk bisa hidup bahagia dengan imam yang sholeh.
Tepat
pada jam 9 pagi, tiba-tiba lamunannya terpotong oleh suara wanita dewasa dari
dalam rumah Kyai.
“Il,
bisa kesini sebentar ndak?” Bu nyai sedang memanggilnya untuk datang ke ndalem.
“Iya,
Bu. Ada yang bisa saya bantu?” Jawab dia.
“Bisakah
kamu membatu ibu untuk jaga rumah sebentar sampai jam 11 siang? Ibu akan ada
urusan di desa sebelah. Nanti gus Umar akan pulang sekitar jam 11, nduk.” Jelas beliau. (Gus Umar adalah anak Bu nyai
yang sedang keluar rumah bersama istri dan seorang anaknya)
“Oh,
baik Bu..” Jawab dia.
Dia ditemani
oleh dua orang temannya, Duna dan Daris, untuk datang ke rumah Kyai. Mereka teman
sekelas Ilsa baik di sekolah formal maupun madrasah diniyah.
“Dun,
Lili kapan baliknya ya?” tanya Ilsa
“Baru
aja dia pulang kampung, kamu udah menanyakan
kapan dia pulang , Il.”
“Iya
sih. Tapi kan dia harus tau tentang tugas Bahasa Indonesia, Dun. Senin depan
kita harus kumpulin dan kebetulan dia satu kelompok sama aku. Aku udah chat tapi tak ada balasan darinya.” Ilsa menjelaskan.
“Mmm..
gimana kalau begini aja, biar aku yang bantu kabarin dia tentang tugas tersebut
pake handphone-ku? Ya, mumpung masih hari Ahad, kan kita masih boleh
pegang handphone. Gimana tertarik dengan tawaranku?” tanya Daris.
“Iya,
boleh. Ntar aku ke kamarmu ya.” Jawab Ilsa.
“Okey.
Sip.” Kata Daris.
Ikan-ikan
berenang kesana kemari dengan semangat dan gembira di dalam akuarium milik Ibu,
seolah mengetahui suasana hati Ilsa yang
kini bahagia karena telah mendapat kabar
bahwa ayahnya dapat giliran untuk panggilan umrah gratis dari tempat kerjanya yang
mana waktu keberangkatannya dua minggu kemudian. Kelembutan tutur kata, kesabaran,
kewibawaan dan kedermawanan Ibu membuat para santri sangat mengaguminya. Ibu berperan
sebagai role model bagi mereka layaknya Pak Kyai. Ibu. Iya, Ibu. Mereka
sudah menganggap Ibu Nyai layaknya ibu mereka sendiri karena beliau
memperlakukan mereka dengan sangat baik.
Seminggu
kemudian, di kelas X-A Bahasa, sepasang benda bulat yang indah di kepalanya itu
memandangi foto-foto yang terpampang di dinding kelas, tiba-tiba matanya terhenti
sejenak oleh salah satu foto yang tampak jelas bahwa foto tersebut adalah Kak
Bara, ketua OSIS di sekolah ini. Semua foto perangkat OSIS memang dipampang di
setiap kelas. Dalam hatinya dia berguman, “Betapa indahnya ciptaan Allah itu”. Ilsa
adalah seorang gadis yang sama dengan teman-teman sebayanya, yang mana mereka semakin
tumbuh dewasa dan mengenal yang namanya cinta. Namun, dia sedikit berbeda
dengan teman-teman yang lainnya dalam menyikapi perasaannya. Dia mencoba
bersikap sebijak mungkin dalam menghadapi masa pubernya karena mengingat banyak
impian-impian yang harus diraih kelak sebelum menginjak ke dunia percintaan.
Iya. Dia biarkan rasa ini tersimpan rapat-rapat dalam kalbu yang paling dalam
tanpa satu pun orang yang mengetahuinya. Dia berfokus pada planning-planning
untuk masa depan yang gemilang.
Ilsa
dan Lili adalah roommate yang mana setiap keluar pondok atau kelas
selalu pergi bersama. Tapi mereka bukan teman sekelas. Ketika ada jam istirahat
pondok, mereka berdua berada di balkon karena kebetulan kamar mereka ada di
lantai dua.
“Il,
kamu ngapain sih chat aku berkali-kali? “ tanya Lili
“Eh,
kapan Lili?” Jawab Ilsa
“Waktu
aku pulang kampung, Il. Tapi aku gak buka whatsapp soalnya lagi sibuk
banget di rumah jadi aku gak bisa pegang handphone”. Kata Lili
“Iya,
maaf aku cuma mau kasih tau kalau ada tugas Bahasa Indonesia waktu itu,
kebetulan kamu kan satu kelompok sama aku. Tugasnya pun udah beres kok tinggal diserahin
ke bu guru”. Kata Ilsa.
“Oooh,
okey. Makasih ya.” kata Lili.
“Sama-sama.”
Jawab Ilsa.
Pada
hari Sabtu sore, tiba saatnya weekend minggu kedua yang mana setiap
santri yang rumahnya berdekatan dengan pondok dan tidak punya jadwal piket diperbolehkan
untuk menghabiskan liburannya di rumah. Ilsa memandangi setiap sudut ruangan pondok.
Ada seorang gadis yang sangat pulas di aula. Dia adalah Lili. Dalam hatinya
bertanya-tanya, “Bukannya Lili mau pulang yah?” Kan harusnya dia udah berkemas”.
Ilsa berjalan menuju arah Lili untuk membangunkannya.
“Lili..
Lili..” ucap Ilsa.
“Hmmm”.
Jawab Lili dengan malas.
“Lili..
bangun! Udah jam segini loh”,Kata Ilsa.
“Kamu
mandi duluan aja deh”, Ucap Lili dengan menunjukkan setengah bola matanya yang
terbuka yang menegaskan bahwa dia masih sangat mengantuk.
“Okey.
Iya deh”. Jawab Ilsa.
Lili memang
tidak pernah bisa bangun tidur tanpa ada yang membangunkannya, sesuai dengan
kata Ibunya ketika memasukkan dia ke pondok waktu itu. Dulu orang tuanya yang
selalu mengomel ketika dia sangat sulit untuk dibangunkan, sementara sekarang
Ilsa.
Mereka
berjalan ke arah ndalem untuk pamit ke Bu Nyai.
“Bu,
kami minta izin untuk pulang sebentar.” Kata mereka serentak.
“Iya
ndok. Kalian hati-hati ya” . Kata Ibu.
“Baik
bu. Assalamualaikum”. Jawab mereka berdua sambil menyalami Ibu.
Untuk
menjangkau ke kediaman Lili, mereka cukup dengan pesan Grab car. Kali
ini mereka tidak dijemput orang tuanya. Mereka berdua sudah tiba di rumah Lili.
Lili memang terlahir dari keluarga yang kondisi finasialnya tergolong kalangan
orang berada. Rumahnya berlantai dua, dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang
serba mewah. Kedua orang tuanya PNS.
Kamar
Lili berada di lantai atas. Jadi, mereka setelah mengobrol panjang lebar dengan
penghuni rumah. Mereka dipersilahkan untuk menaiki tangga menuju lantai dua
rumahnya. Ibu Lili berpesan kepada mereka. “Kalau jam makan, kalian ke bawah
ya”. “Iya bu”. Jawab mereka.
Kali ini weekend Ilsa bukan me
time melainkan menghabiskan liburan di rumah Lili.
"Li, kamu nggak mandi lagi?"
"Ngapain?"
"Gerah tau."
"Yaudah, Aku mandi dulu ya."
"Okey."
Di siang bolong. llsa mengambil handuk milik Lili dan membawanya ke kamar
mandi.
"Il, lama banget mandinya?"
"Iya, bentar."
"Il, untuk siang ini aku ada lunch spesial buat kamu."
"Seriusan?"
"Apa tuh".
"Kepo".
"Ih.. apaan?"
"P-I-Z-Z-A".
"Suer. Ini favorite banget. Makasih ya."
"Tapi kita makannya barengan aja ya. Aku udah pesen juga buat Mama dan
Papa."
"Siap"
"Li, kamu tau nggak?"
"Guru Bahasa Inggris kita di kelas tu keren banget ngajarnya kan
yah?"
"Keren?! Apa kamu bilang?"
"Iya, Pak Fadheel keren banget ngajarnya".
"Mana ada? Dia tuh guru yang paling nggak aku suka"
"Lah, kenapa?"
"Iya, lah. Masak iya. Aku dikasih nilai D. Aku tuh nggak suka ya kalau ada
guru atau siapapun yang nggak pernah menghargai jerih payah aku, aku kan
belajar semalan buat ulangan harian tapi malah dia kasih nilai D. Kalaupun aku
jadi anak dia nggak bakal mau. Pokoknya dia guru yang paling nggak aku
suka."
"Lah! Kenapa sih, Li. Kita tuh nggak boleh kayak gitu sama Guru, kita
harus respect, Li. Bagaimanapun guru kita, kitanya harus hargain dan hormatin
karena semua guru sudah berjasa buat mengajarkan ilmu-ilmu yang Allah titipkan
ke mereka. Guru kan pahlawan tanpa tanda jasa."
"Tapi kenapa nilai aku tetep jelek, padahal sudah belajar giat, secara
otomatis kan aku benci sama guru tersebut. Harusnya tuh dia nambahin nilai aku
jadi lebih baik."
"Bukan hanya karena belajar giat kita bisa dapetin nilai bagus, Li.
Mungkin karena penguasaan materi kita yang kurang maksudnya kurang paham dengan
materinya, sikap kita ke guru, dsb. Kamu kan kalau kurang paham nggak mau
tanya, Li."
"Males ah. Orang udah benci ya benci".
"Terus kalau kamu bersikap juga harus selalu baik, karena kita kan sebagai
murid yang mana kita harus nurut sama Guru, respect sama Guru. Bukan malah
ngehibah kayak gini. Astaghfirullah".
"Dan aku juga iri, kenapa kamu selalu dapet nilai A di kelas dia. Kita kan
sama-belajar dari habis Isya sampai jam 10. Lalu, pagi habis subuh".
Pokoknya aku nggak terima dan aku benci Pak Fadheel."
"Sudah!!! Stop ghibahnya".
"Kamu tau nggak Kak Bara sekarang mah banyak cewek yang perthatiin, salah
satunya adalah teman aku sendiri. Dan aku nggak suka."
"Apa kamu bilang?"
"Aku suka benci dan kesel sama orang-orang kayak mereka, serba
nyebelin."
"Eeh.. nggak boleh gitu."
Ilsa mencoba untuk tidak mengatakan
sepatah kata pun tentang perasaannya. Dia memilih untuk menyimpannya rapat-rapat
dalam lubuk hati yang paling dalam meskipun teman akrabnya telah menyindirnya.
"Tok tok.. tok tok."
"Ada yang chat, Il?
"Ummi ingin ngobrol sebentar sama kamu tapi via chat saja ya.
Karena ini sudah larut malam. Ummi ndak enak mengganggu Abi yang sedang
pulas".
"Baik, Um."
"Il, apa kabarmu disana?"
"Alhamdulillah sejauh ini baik, Bu".
"Ummi Abi sehat kan ya?"
"Alhamdulillah. Jangan pernah berhenti berdoa semua orang yang telah
berjasa di hidupmu ya. Orang tua, semua guru, Pak Kyai, Bu nyai. Dengan bacaan
surotul Fatihah selepas salat ya. Selalu respect kepada Guru. Jaga
attitude. Belajar yang giat. Semoga menjadi yang bermanfaat fiddunya wal
akhiroh."
"Aamiin. Baik, Umm. Makasih banyak ya."
"Sama-sama, nak."
"Berkat Ummi, Ilsa bisa belajar di pondok ini." Sekali lagi makasih
banyak ya Um."
"Oiya, kamu sudah ulangan ya? Bagaimana?"
"Alhamdulillah sudah Um. Hari pertama kemarin adalah pelajaran Bahasa
Inggris dengan nilai A."
"Alhamdulillah. Semangat ya ulangannya. Belajar yang giat. Tetap menjadi pribadi
yang baik ya."
"Insya Allah. Siap Um".
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar